Negara China, dapat dikatakan dahulu sangat tertutup.
Para pendatang atau turis tertarik kehidupan mereka yang harmoni dengan
lingkungan alam sekitar. Feng Shui dapat disebut ilmu ‘penghijauan’ sebelum
pelestarian alam didengungkan, dimana manusia belum dianggap sebagai oknum yang
kelak melakukan perusakan terhadap lingkungan alam. Feng shui dilihat sebagai
bagian integral dari mekanisme lingkungan yang kompleks yang senantiasa harus
dijaga keseimbangannya.
Pertimbangan umum bahwa apabila ada jalan atau jalr
mengarah ke gedung atau rumah, konsekuensinya adalah qi menjadi terlalu kuat
dan berbahaya sehingga biasa disebut qi “jahat” atau sha qi. Penjelasan di atas
adalah masuk akal. Sekarang, jika rumah berada di tepi sungai, maka menghadap ke
sungai dan lengkungan aliran sungai mengarah ke rumah, maka rumah menjadi
rentan kena banjir dan erosi, karena dalam hal ini aliran sungai menghujam
langsung.
Hal yang sama, rumah berada di sisi bukit yang setiap
harinya banyak tiupan angin atau rumah menghadap penuh ke arah matahari terbit,
dimana pada musim panas para penghuni rumah rawan terkena sakit. Rumah dibangun
di atas lahan yang sedapat mungkin, bukan termasuk garis-garis patahan bumi (fault) atau yang tidak ada air. Semua
itu tetap masuk akal.
Pembangunan bendungan, akhir-akhir ini, baru disadari
bahwa manfaatnya tidak sebanding dengan kerusakan ekologi. Bendungan dibangun
awalnya sebagai sarana pengendali banjir dan, kemudian, dimanfaatkan untuk
pembangkit tenaga listrik selain pariwisata. Bendungan ternyata membawa problem
bagi ekologi karena “mengumpulkan” air dalam jumlah besar dan tidak membiarkan
mengalir bebas ini menimbulkan dioxin
yang beracun. Belum lagi apabila yang menjadi penampungan adalah bekas-bekas
hutan dimana ada tanaman. Air yang mengenangi bekas hutan itu menimbulkan gas
metana yang merusak pula. Tidaklah mengherankan apabila ada berita bahwa semua
ikan yang ada di keramba yang berada di bendungan, mati semua. Kedua senyawa
beracun di atas adalah penyebabnya.
Sendimen yang terakumulasi di dekat bendungan juga
menjadi biang kerusakan lingkungan. Sendimen yang dibawa oleh aliran air ini
menumpuk dan membuat bendungan dangkal bahkan berbentuk daratan baru dari
sendimen yang sebenarnya adalah lapisan tanah paling atas dan tentunya paling
subur.
Proyek pembangunan bendungan raksasa di China, “Three Gorges”, mengalami kondisi seperti
di atas. Guna mengatasi banjir yang memakan banyak korban setiap tahunnya,
dibangunlah bendungan yang pada akhirnya menenggelamkan ribuan rumah tinggal
penduduk, termasuk peninggalan kuno dan mengevakuasi jutaan orang dengan
memindahkan ke lokasi pemukiman ke tempat yang lebih tinggi dan membangunkan
rumah-rumah susun bagi mereka yang termpatnya tergusur. Dampak dari bendungan
ini kurang antisipasi karena endapan sendimen itu sendiri memiliki laju
percepatan yang luar biasa, sehingga beberapa fungsi bendungan seperti sarana transportasi,
pembangkit tenaga listrik menjadi tidak optimal.
Tren membongkar kembali bendungan karena dampak yang
sudah disebut di atas, mulai dilakukan di Amerika. Mereka melihat bahwa bendungan
itu ternyata juga mengganggu habitat binatang. Beberapa jenis ikan, kerang air
tawar sulit berkembang-biak dalam situasi sungai yang dibendung, binatang air
seperti: lingsang terganggu habitatnya.
Sungai ternyata memiliki karakteristik tersendiri sehingga
tidak dapat dengan mudah disesuaikan dengan keinginan manusia. Feng shui yang
memberi tempat bagi sungai (baca: air) dapat membantu orang memahami ekologi,
namun dengan kearifan kuno. Sama halnya dengan gunung yang disebut dengan
‘naga.’ Merusak habitat gunung lewat aktivitas menebang pohon, mengeruk tanah,
menggali pasir dianggap melukai ‘naga’ itu terlebih apabila tanah yang dikeruk berwarna
merah, tentunya tanah subur, mampu merusak ‘nadi-nadi’ naga. Kerusakan ini
tidak dapat tergantikan karena ‘naga’ terluka ini, kemudian, dapat memberi banjir dan longsor bagi mereka
yang tinggal di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar