Sabtu, 18 Mei 2013

Feng Shui dan Ekologi



Negara China, dapat dikatakan dahulu sangat tertutup. Para pendatang atau turis tertarik kehidupan mereka yang harmoni dengan lingkungan alam sekitar. Feng Shui dapat disebut ilmu ‘penghijauan’ sebelum pelestarian alam didengungkan, dimana manusia belum dianggap sebagai oknum yang kelak melakukan perusakan terhadap lingkungan alam. Feng shui dilihat sebagai bagian integral dari mekanisme lingkungan yang kompleks yang senantiasa harus dijaga keseimbangannya.

Pertimbangan umum bahwa apabila ada jalan atau jalr mengarah ke gedung atau rumah, konsekuensinya adalah qi menjadi terlalu kuat dan berbahaya sehingga biasa disebut qi “jahat” atau sha qi. Penjelasan di atas adalah masuk akal. Sekarang, jika rumah berada di tepi sungai, maka menghadap ke sungai dan lengkungan aliran sungai mengarah ke rumah, maka rumah menjadi rentan kena banjir dan erosi, karena dalam hal ini aliran sungai menghujam langsung.

Hal yang sama, rumah berada di sisi bukit yang setiap harinya banyak tiupan angin atau rumah menghadap penuh ke arah matahari terbit, dimana pada musim panas para penghuni rumah rawan terkena sakit. Rumah dibangun di atas lahan yang sedapat mungkin, bukan termasuk garis-garis patahan bumi (fault) atau yang tidak ada air. Semua itu tetap masuk akal.

Pembangunan bendungan, akhir-akhir ini, baru disadari bahwa manfaatnya tidak sebanding dengan kerusakan ekologi. Bendungan dibangun awalnya sebagai sarana pengendali banjir dan, kemudian, dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik selain pariwisata. Bendungan ternyata membawa problem bagi ekologi karena “mengumpulkan” air dalam jumlah besar dan tidak membiarkan mengalir bebas ini menimbulkan dioxin yang beracun. Belum lagi apabila yang menjadi penampungan adalah bekas-bekas hutan dimana ada tanaman. Air yang mengenangi bekas hutan itu menimbulkan gas metana yang merusak pula. Tidaklah mengherankan apabila ada berita bahwa semua ikan yang ada di keramba yang berada di bendungan, mati semua. Kedua senyawa beracun di atas adalah penyebabnya.

Sendimen yang terakumulasi di dekat bendungan juga menjadi biang kerusakan lingkungan. Sendimen yang dibawa oleh aliran air ini menumpuk dan membuat bendungan dangkal bahkan berbentuk daratan baru dari sendimen yang sebenarnya adalah lapisan tanah paling atas dan tentunya paling subur.

Proyek pembangunan bendungan raksasa di China, “Three Gorges”, mengalami kondisi seperti di atas. Guna mengatasi banjir yang memakan banyak korban setiap tahunnya, dibangunlah bendungan yang pada akhirnya menenggelamkan ribuan rumah tinggal penduduk, termasuk peninggalan kuno dan mengevakuasi jutaan orang dengan memindahkan ke lokasi pemukiman ke tempat yang lebih tinggi dan membangunkan rumah-rumah susun bagi mereka yang termpatnya tergusur. Dampak dari bendungan ini kurang antisipasi karena endapan sendimen itu sendiri memiliki laju percepatan yang luar biasa, sehingga beberapa fungsi bendungan seperti sarana transportasi, pembangkit tenaga listrik menjadi tidak optimal.

Tren membongkar kembali bendungan karena dampak yang sudah disebut di atas, mulai dilakukan di Amerika. Mereka melihat bahwa bendungan itu ternyata juga mengganggu habitat binatang. Beberapa jenis ikan, kerang air tawar sulit berkembang-biak dalam situasi sungai yang dibendung, binatang air seperti: lingsang terganggu habitatnya.

Sungai ternyata memiliki karakteristik tersendiri sehingga tidak dapat dengan mudah disesuaikan dengan keinginan manusia. Feng shui yang memberi tempat bagi sungai (baca: air) dapat membantu orang memahami ekologi, namun dengan kearifan kuno. Sama halnya dengan gunung yang disebut dengan ‘naga.’ Merusak habitat gunung lewat aktivitas menebang pohon, mengeruk tanah, menggali pasir dianggap melukai ‘naga’ itu terlebih apabila tanah yang dikeruk berwarna merah, tentunya tanah subur, mampu merusak ‘nadi-nadi’ naga. Kerusakan ini tidak dapat tergantikan karena ‘naga’ terluka ini, kemudian,  dapat memberi banjir dan longsor bagi mereka yang tinggal di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar